Seni dalam Sajak


Seperti juga seni pada umumnya, sastra, khususnya sajak mempunyai dwi-kualitas di dalamnya. Kualitas objek seni dan kualitas medium seni. Kualitas objek seni merupakan kualitas yang dirasakan pada saat berhadapan dengan sebuah objek. Sedangkan kualitas medium seni merupakan kualitas yang diwujudkan lewat medium yang digunakan.

Berhubungan dengan sajak, dwi-kualitas tersebut bisa dipakai sebagai standar seni di dalam sajak. Karena pada dasarnya yang dinamakan seni harus terkandung di dalamnya dwi-kualitas tersebut. Sebagai bahasan lebih lanjut, di bawah ini akan diuraikan mengenai seni di dalam sajak yang dilihat dari dwi-kualitas yang dikandungnya.

Pertama, kualitas objek seni dalam sajak. Sebagaimana yang kita ketahui, objek yang akan kita angkat dalam sajak haruslah pertamanya memberikan stimulus buat kita. Sesudahnya tinggal bagaimana kita menerima stimulus tersebut akan dituangkan dalam sajak.

Mengenai stimulus yang kita dapati dari sebuah objek, haruslah diingat bahwa stimulus yang kita dapati seyogyanya benar-benar bukan sembarang stimulus. Artinya stimulus tersebut mampu berbicara bukan hanya sekadar apa yang nampak dalam objek, akan tetapi lebih dari itu.

Sebagai ilustrasi di atas, diberikan contoh sebagai berikut. Seorang penyair dihadapkan pada sebuah objek, katakanlah ditolak cinta oleh pasangannya. Bila si penyair hanya berbicara mengenai ratapannya saja, sudah pasti kualitas rasa yang diderita dari objek itu tidak bisa dirasakan oleh khalayak ramai sebagaimana si penyair itu merasakannya. Bahkan mungkin apa yang dibicarakannya terkesan sentimentil. Tetapi lain ceritanya apabila si penyair itu bisa mengungkapkan kualitas rasa yang diderita dari objek itu pada khalayak ramai. Sebagai jalannya ia harus mewujudkannya dalam kualitas rasa universal manusia pada umumnya. Dengan kata lain, ia harus menaklukan, menguasai banjir kualitas perasaannya sehingga dapat dirasakan oleh orang lain yang tidak megalami apa yang dialaminya.

Kedua, kualitas medium seni dalam sajak. Sudah menjadi rahasia umum bahwa sajak memakai bahasa sebagai medium penuangan seninya. Bahasa yang digunakan dalam sajak pastilah berbeda dengan bahasa surat utang-piutang, berita dalam koran, atau apapun yang lainnya selain sajak. Seorang penyair diharuskan menguasai bahasa dalam sajaknya. Bahasa yang sesajak-sajaknya. Dengan kata lain, mampu mengenal karakteristik bahasa dalam sajak yang notabene membedakan dari bahasa-bahasa yang lainnya.

Sekarang yang menjadi pertanyaan, bagaimana kualitas yang dirasakan pada objek mampu diwujudkan melalui kualitas medium seninya? Karena menurut Jakob Sumardjo dalam bukunya Filsafat Seni, sebuah karya seni baru bisa dikatakan berhasil apabila mampu menawarkan kualitas objek seni melalui kualitas medium seni. Sedangkan kita tahu sajak adalah seni juga. Sebagai jawabannya, menurut hemat penulis, kualitas yang dirasakan haruslah bisa semaksimal mungkin ditaklukkan dalam medium yang digunakan atau dipilihnya—dalam hal sajak tentunya bahasa sebagai mediumnya. Penaklukan inilah yang biasa disebut sebagai pengkomunikasian Toltstoy, objektifikasi Santayana, Simbolisasi Langer dan perwujudan Bosanquet.

Sebagai penutup, baiklah kiranya dikutip pesan bijak dari penyair Sutardji Calzoum Bachri dalam bukunya Gelak Essai dan Ombak Sajak, "Sajak yang mengandung pesan sebesar apa pun, jika ia tidak menghiraukan cara pengucapannya, takkan kunjung dianggap sajak yang berhasil. Ibarat perempuan dengan kandungan besar namun tak kunjung melahirkan."
Pernah dimuat di Buletin SeKS Edisi 5/Oktober 2002

0 Response to "Seni dalam Sajak"

Posting Komentar

Jika postingan di atas bermanfaat dan Anda tertarik untuk berbagi perasaan dan pikiran bersama kami, silakan tulis komentar. Terima kasih ;-)