Reformasi Pendidikan


Ngindung ka waktu, ngabapa ka jaman. Begitulah salah satu bunyi peribahasa Sunda sebagai kearifan lokal (local wisdom) yang perlu dihikmati bersama. Di tengah girah reformasi bangsa Indonesia menuju masyarakat madani, seluruh komponen bangsa dituntut bersama-sama untuk mewujudkannya, tidak terkecuali seorang guru. Dengan demikian, kualifikasi seorang guru di era reformasi sekarang ini sejatinya berterima dengan tuntutan zaman.

Reformasi artinya menata ulang, menata kembali tatanan kehidupan sebelumnya menuju ke arah yang lebih baik, semacam hijrah dari kebatilan menuju yang hak, dari kemunkaran menuju yang diridai. Dalam era reformasi, seorang guru yang sebelumya tidak berkompeten dalam bidangnya dan tidak profesional dalam kinerjanya diharapkan menjadi guru yang berkompeten dan profesional. Secara formal, harapan itu tengah diupayakan oleh pemerintah dengan lahirnya kebijakan mengenai sertifikasi tenaga pendidik dan kependidikan sebagai salah satu agenda reformasi pendidikan di Indonesia. Sebab dari itu, sudah menjadi kewajiban seorang guru untuk menyukseskan agenda reformasi pendidikan tersebut.


Seorang guru yang mengikuti sertifikasi belum termasuk menyukseskan agenda reformasi pendidikan bila niatnya hanya untuk mengejar materi belaka. Karena jika diniatkan seperti itu, seorang guru akan mudah tergoda untuk menghalalkan segala cara agar bisa lulus dari uji sertifikasi. Contohnya, sering kali seorang guru dalam uji sertifikasi melakukan praktik memanipulasi data portofolionya. Kenyataan demikian tentu saja sangat patut disayangkan karena telah keluar dari jalan lurus reformasi pendidikan yang telah diagendakan atau telah menjadi seorang yang kontra reformasi.

Sebaliknya, seorang guru yang belum mengikuti sertifikasi sudah termasuk menyukseskan agenda reformasi pendidikan bila di antaranya telah menerapkan prinsip hidup “belajar sepanjang hayat” dan bersikap amanah. Prinsip hidup “belajar sepanjang hayat” akan menuntun seorang guru menjadi lebih berkompeten dalam bidangnya. Adapun bersikap amanah akan menuntun seorang guru menjadi lebih profesional dalam kinerjanya.

Bersandar pada kenyataan bahwa ilmu itu luasnya tanpa batas dan terus berkembang secara cepat dan pesat, prinsip hidup “belajar sepanjang hayat” menegasikan sikap seorang guru yang merasa cukup dengan ilmu yang didapat. Seorang guru yang bersikap seperti itu dalam kesehariannya hanya akan disibukkan oleh administrasi di kelas alih-alih meluangkan waktu untuk terus menambah ilmu, apakah itu melalui jalur pendidikan formal atau pun autodidak.

Banyak di antara rekan guru yang tidak mempunyai kesempatan untuk melanjutkan lagi pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi karena hambatan waktu atau pun biaya. Akan tetapi, hal itu bukanlah suatu harga mati untuk terus menambah ilmu. Kenapa tidak dicoba dengan autodidak, belajar sendiri, yang salah satunya adalah dengan rajin membaca buku. Siapa pun pasti pernah mendengar ungkapan “buku adalah gudangnya ilmu”.

Kualitas manusia, dalam hal ini guru, yang belajar autodidak tidak kalah bersaing dengan yang belajar melalui jalur pendidikan formal. Contoh yang sangat prestisius sudah dibuktikan oleh seorang Ajip Rosidi, sastrawan dan budayawan yang menjadi sensei 'guru' di beberapa universitas di Jepang. Ilmu yang didapat oleh beliau bukanlah melalui jalur perguruan tinggi, melainkan autodidak dengan rajin membaca buku. Ketika seorang guru sudal lahap membaca buku yang berhubungan dengan disiplin ilmunya, dengan sendirinya guru tersebut berkompeten dalam bidangnya.

Di samping itu, sikap amanah mesti tertanam dalam diri seorang guru. Amanah artinya menerima dan menjaga kepercayaan yang telah diberikan dengan penuh tanggung jawab. Menjadi seorang guru adalah amanah untuk mendidik anak-anak bangsa menjadi manusia yang berprestasi dan berakhlak mulia. Seorang guru yang bersikap amanah akan penuh tanggung jawab ketika kegiatan belajar mengajar di kelas berlangsung. Misalnya, tidak akan keluar perintah untuk siswanya, "Silakan baca bab sekian dan kerjakan latihan soalnya!” sementara guru tersebut asyik menggibah di ruang guru.

Sikap amanah seorang guru ini akan diuji ketika guru tersebut menjadi salah seorang juri pada lomba yang diadakan untuk mengukur prestasi siswa, misalnya menjadi juri “Lomba Calistung (Membaca, Menulis, dan Berhitung) Tingkat SD Kelas 1 dan 2”. Dalam hal ini, seorang guru yang menjadi juri lomba tersebut harus mampu menempatkan objektivitasnya dan menyisihkan subjektivitasnya. Ketika subjektivitas berbicara, serta merta guru tersebut telah menzalimi siswa yang benar-benar berprestasi.

Seorang guru yang telah lulus dalam ujian ini akan mampu memberikan penilaian yang jujur dan adil pada semua siswa yang mengikuti lomba tersebut. Tidak akan ada lagi pemilahan, "Ini siswa sd negeri, itu siswa sd swasta,” “Ini anak didik saya, itu bukan anak didik saya,” dan berbagai pemilahan lainnya yang mengandaikan oposisi biner “Yang Ego” dan “Yang Lian”. Hanya dengan bersikap amanah seorang guru akan masuk ke dalam makam seorang guru yang profesional dalam kinerjanya.

Sebagai epilog dalam tulisan ini, saya ingin menegaskan bahwa sudah bukan zamannya lagi ketika ada seorang guru yang masih malas membaca, malas mengajar di kelas, dan seabreg malas yang lainnya atau sudah bukan zamannya lagi ketika masih ada seorang guru yang menjadi juri sebuah lomba tidak profesional dalam kinerjanya. Kalaulah seorang guru masih bebal melakukan praktik serupa itu, guru tersebut belum menghikmati peribahasa Sunda yang bunyinya, “Ngindung ka waktu, ngabapa ka jaman.” Cag!

Repost dari weblog ini dengan sedikit perubahan.

0 Response to "Reformasi Pendidikan"

Posting Komentar

Jika postingan di atas bermanfaat dan Anda tertarik untuk berbagi perasaan dan pikiran bersama kami, silakan tulis komentar. Terima kasih ;-)