Cerpen: Antara Kau dan Anak-Anak Kita

ANTARA KAU DAN ANAK-ANAK KITA

Candra T. Munawar


“Kutunggu kau di pojok jalan itu,” ucapmu terakhir kalinya sebelum Widia membawamu pergi menuju kampung halamanmu. Aku hanya bisa termangu, menatap kosong kepergianmu. Tak sepatah kata pun terucap dari bibirku, walau sekadar salam perpisahan. Bukannya aku tak paham apa maksudmu, tetapi aku masih tak percaya kau masih bisa berkata seperti itu. Aku pun sendiri menyangsikan jika kita akan bertemu lagi, di tempat biasa ketika kita janjian untuk bertemu.

Selalu saja ada alasan di setiap akhir pekan kita janji temu di tempat ini. Melepas lelah melepas penat dari rutinitas keseharian kita dengan apa dan siapa yang kita suka. Melepas semau-maunya dan semua-muanya. Tak berjarak begitu dekat. Sedemikian kita sudah satu tubuh satu jiwa. Sudah berapa lamanya waktu kita habiskan bersama, hampir menghampiri saling menyelami hati kita masing-masing. Sungguh waktu tak terasa kita lewati begitu saja, sudah hampir satu tahun semenjak kali pertama kita berkenalan.

Kupanggil namamu Lusiana. Nama yang mudah kuhafal dalam pertemuan kita yang cukup singkat waktu itu. Kau datang dengan tiba-tiba, mengalihkan perhatianku pada La Tahzan yang sedang khusyuk kubaca. Kau tak sendirian waktu itu. Ada malaikat kecil bersamamu. Kau pun duduk di samping si kecil yang bersebelahan denganku. Kulihat si kecil sekilas tampak begitu kelelahan. Jika bukan karena si kecil merengek ingin dibelikan minuman, mungkin kita tak kan pernah bertegur sapa. Awalnya, memang si kecil lah yang menarik perhatianku. Ada perasaan tak biasa yang menjalar menyelusup masuk secara diam-diam mengusik kehidupanku. Ya …, si kecil dengan dunia kanak-kanaknya.

“Jangan lupa, ya …! Kalau tidak sibuk, sempatkan waktu mengabari saya …,” katanya sedikit berteriak memecah keramaian dari arah seberang bangku terminal yang kududuki. Aku hanya cukup tersenyum seakan masih tak percaya atas apa yang telah kami lewati sekira lima belas menit yang lalu. Asyik masuk dalam obrolan yang begitu hangat. Orang-orang di sekeliling mungkin mengira bahwa kami adalah pasangan suami istri yang berbahagia, lengkap dengan si kecilnya. Si kecil lucu nan cantik yang umurnya hampir sama dengan si kecilku nun jauh di sana. Itu salah besar! Mata-mata orang yang melihat kami mungkin tak bisa ditipu, tetapi apa yang mereka lihat acap kali menipunya. Seperti keadaan kami sebenarnya. Sungguh, kami tidak bahagia!

Di tempat ini, kami duduk bersebelahan di bangku terminal yang sama, menunggu bus yang membawa kami ke kota tujuan yang berbeda. Aku ke kota C, sementara Ia ke kota S. Aku pun mulai mengenal perempuan itu. Selain nama dan nomor kontak, sepenggal kisah hidupnya pun Ia tak canggung berbaginya bersamaku. Mungkin kami dipertemukan dengan takdir yang sama. Ia dengan anak dan mantan suaminya, dan aku pun dengan anak dan mantan istriku. Satu hal yang membuatku berbeda dengannya, Ia lebih beruntung bisa merawat anaknya. Sementara aku, bertahun kesedihan harus mengutuki kesendirian dan perpisahanku dengan si kecil.

Aku membayangkan anakku pasti selincah dan seriang anakmu, Lusiana. Menikmati dunia kanak-kanaknya, dunia bermain dan dunia tanpa beban. Sebuah dunia yang tak pernah hirau dengan permasalahan rumit orang dewasa. Itu sebabnya aku begitu bergairah ketika kali pertama kau mengabariku kembali dan memintaku untuk menemani Riana bermain bersama di hari Minggu yang cerah itu. Secerah hatiku yang mulai menemukan duniaku yang pernah hilang. Riana kecil pun tampak begitu ceria, menikmati kebersamaannya denganku dan tentunya juga dengan bundanya. Seharian kami bersama, menjadi semacam keluarga baru yang begitu bahagia. Jika orang di sekeliling mengira kami seperti itu, diam-diam aku pun mulai berharap bahwa hari itu adalah awal kebahagiaan kami: aku, Lusiana, dan Riana.

Pada mulanya adalah Riana, awal kebahagiaanku. Betapa tidak, sedari pertama kumelihatnya, si gadis kecil berambut hitam lebat itu telah menarik perhatianku. Adakah yang lebih menyenangkan melihat gadis kecil tertawa riang, yang bahkan giginya belum lengkap itu, tetapi tetap bisa merasa bahagia meskipun kehidupan ini sesungguhnya teramat keras? Dan Bola matanya itu, yang bundar dan bening, seakan menatap tajam ke ulu hatiku. Mengingatkan aku bahwa di kota B masih ada masa lalu dalam hidupku yang tak kunjung bisa berdamai. Gadis kecilku yang sudah mulai tumbuh berkembang tanpa kehadiranku di sisinya. Aku tak tahu bagaimana rupanya sekarang, yang kuiingat waktu itu hanya tangis bayi yang mengiringi kepergianku dari rumah keparat itu. Sudah hampir lima tahun aku meninggalkan kota B, sekarang aku terdampar menjadi bohemian di kota J. Kota yang mempertemukan aku dengan Riana dan juga bundanya, Lusiana.

Seiring berjalannya waktu, perhatianku bukan saja hanya pada Riana, perlahan-lahan aku pun mulai menyukai Lusiana, bundanya. Ada rasa sayang yang juga ingin kubagi bersamanya. Dan sepertinya tidak terlalu sulit di antara kami untuk saling berbagi kasih sayang. Di setiap akhir pekan aku dengannya selalu menyempatkan waktu tuk bertemu, dengan atau tanpa Riana. Dalam sebulan, hanya satu atau dua kali kami bisa bermain bersama Riana. Mengajaknya ke suatu tempat, ke wahana rekreasi yang begitu tersedia banyak pilihan di kota ini. Ingin rasanya setiap hari atau paling tidak seminggu sekali ada waktu bersama Riana. Keinginan yang sama seperti pada Listiani, anakku semata wayang, sudah bertahun-tahun yang lalu hingga sampai detik ini. Namun, keadaan sering kali tidak pernah memihak kita. Harapan dan kenyataan sungguh lebih sering tidak pernah bersahabat. Seperti keadaan kami sekarang.

Aku dan Lusiana sama-sama terpisah jarak dan waktu dengan anak-anak kami. Riana tinggal bersama neneknya di kota S, sementara Listiani tinggal bersama Asti, bekas istriku, di kota B. Walaupun demikian, Lusiana masih ada waktu dan kesempatan yang leluasa untuk bertemu bahkan untuk mengasuh dan mendidik anaknya sendiri. Dan Lusiana benar-benar tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Selalu dihabiskannya waktu bersama Riana dengan penuh rasa kasih sayang. Seakan Ia ingin menebus seluruh hari-harinya yang terlewat bersama anaknya. Sungguh, menjadi single parent itu bukan perkara yang mudah, dan Ia sudah berhasil melakukannya selama hampir dua tahun ini. Mungkin sebabnya itu, aku benar-benar mengaguminya. Dan sekarang, tidak hanya sekadar kagum. Ada perasaan lain yang tidak mudah aku rumuskan apakah itu. Yang terang, aku menyukai dan menyayangi Lusiana. Itu saja.

“Aa, apakah Neng sangat berarti bagi Aa?” ucapmu di suatu Minggu sore yang sedikit kelabu. Hening sesaat. Gumpalan awan pekat di atas langit pun seperti tertahan menunggu kalimatmu selanjutnya. “Apakah Aa benar-benar sayang sama Neng dan Riana?” ucapmu sekali lagi seperti ingin meyakinkan pertanyaan sebelumnya. Masih terdiam. Dan langit pun mulai tak tertahan menitikkan rintik hujannya. Seperti juga semesta yang mulai basah dan lembap dengan titik-titik airnya, dari sudut mataku masih terlihat jelas ada yang mencair dari kedua kelopak matamu. Sesuatu yang tertahan sedari tadi akhirnya pecah juga mengalir di kedua pipimu yang lesung itu. Apa sebab yang membuatmu bertanya seperti itu, perempuanku? Dan kenapa kau pun sampai menangis mengharu biru seperti itu? Apakah semuanya harus kujawab? Bukankah tanpa kukatakan sekali pun kau tahu pasti apa yang tersembuyi dalam benak? Sungguh, suatu Minggu sore yang sangat ganjil.

Dan sungguh, aku tidak tahu bagaimana cara meyakinkan Lusiana atas pertanyaan yang Ia sendiri sudah tahu jawabannya. Sia-sia upaya dan ikhtiarku selama tak pernah bisa menyentuh hatinya yang paling terdalam walau seberapa banyak dan bagaimana pun jawabannya. Yang Ia butuhkan sepertinya bukan sekadar jawaban, lebih pada menguatkan dirinya yang sedang rapuh. Aku hanya bisa memeluk dan mencium keningnya. Mencoba menguatkan dirinya dari segala risau yang mulai meracau dalam hati dan pikirannya. Tak banyak kata terucap selain kudekap erat tubuhnya, menghalau gerimis hujan yang semakin deras menyapa kami di penghujung hari waktu itu. Lalu, kugamit tangannya mengajaknya berlari segera mencari tempat tuk berteduh.

Tempat berteduh yang paling sempurna di dunia ini adalah sebuah rumah impian. Bukan karena mewah dan lengkap dengan segala perabotnya yang lux, tetapi rumah yang di dalamnya dihuni sebuah keluarga yang utuh dan bahagia: suami, istri, dan anak-anak yang saling menyayangi dan menghormati. Aku dan Lusiana pun memimpikan rumah seperti itu, yang di dalamnya ada aku, Lusiana, dan anak-anak kami. Walau rumahnya sederhana, itu sudah cukup untuk kami. Kapan dan bagaimana kami mewujudkannya, harus dimulai dengan surat sakti itu. Selembar piagam yang menerangkan bahwa kami sudah sama-sama diakui oleh negara sebagai bagian dari sekumpulan orang-orang yang gagal dalam berumah tangga. Sebuah pengakuan yang menyakitkan tentunya, tetapi bagaimanapun kami membutuhkan surat cerai itu. Tidak cukup dengan kata-kata talak! Dan tidak cukup dengan sudah dilaluinya masa idah. Aku dan Lusiana pun sudah sangat paham, tidak perlu diingatkan lagi oleh siapa pun. Termasuk dia, lelaki bajingan yang mulai mengusik kebahagiaan kami.

“Dia benar-benar keterlaluan! Neng sudah tidak mau lagi berhubungan dengan Bapaknya Riana,” keluhnya. Aku pun mematung di depan cermin, memandang pantulan siluet dirinya yang tengah membetulkan letak tali branya. Di luar hujan mulai reda. Titik-titik airnya masih terdengar menimpa atap rumah kontrakan. Hawa dingin menyelusup masuk ke dalam kamar kontrakan. Sungguh, sihir tubuhnya telah menyulap kamar ini menjadi begitu hangat dan bergairah. “Jika dia tidak mau mengurusnya ke pengadilan, kita saja yang mengurusnya sekalian,” sarannya. Aku sudah bisa menduganya sekarang mengapa Ia begitu rapuh tadi sore. Baru kali itu aku melihatnya menangis. Ini semua karena ulah Raihan, bekas suaminya.

Sebenarnya aku juga yang salah, kenapa juga harus meminta Lusiana untuk menghubungi bapaknya Riana. Padahal, aku tahu betul bahwa Ia sudah tak mau lagi berhubungan dengan yang namanya Raihan. Cukup terakhir kalinya Ia bertemu pada saat Ia dipulangkan, lebih tepatnya diusir, ke rumah orang tuanya. Ia berharap itu pertemuan yang terakhir. Ia belum pikun, Ia masih hafal betul bagaimana Raihan memperlakukannya dengan begitu kasar. Sumpah serapah dan perlakuan kasar adalah makanan sehari-hari yang Ia harus telan sendirian selama hampir tiga tahun pernikahannya dengan Raihan. Sebab itu, seakan bersumpah Ia mengharamkan dirinya sekali pun bertemu lagi dengan bekas suaminya itu. Namun sayang, Ia masih berbaik hati mengizinkan bekas suaminya itu menengok anaknya. Hal yang sama yang tidak pernah dilakukan oleh Asti untukku. Sudah begitu parahkah kesalahanku? Seingatku, hanya sekali-kalinya aku mendaratkan tamparan keras itu di belahan pipinya. Saat kali pertama Ia memintaku untuk menceraikannya sebelum pada akhirnya aku pun terusir!

“Jangan sampai Dia merebut Riana dariku,” bisikmu tepat di telingaku yang sebelah kiri. “Kenapa kau tidak mengambil Listiani juga dari ibunya?” bisik yang lainnya, mungkin arahnya dari sebelah kanan telingaku atau mungkin itu bisik batinku sendiri. Entahlah. Yang pasti, jangan sampai Raihan mengambil Riana dari tangan Lusiana. Aku harus bisa memastikan itu agar Lusiana bisa terus ada waktu bersama denganku. Seperti malam ini. Setelah seharian bersama, di setiap akhir pekan kami memang selalu menutupnya dengan ritual bermalam bersama. Di tempatnya, atau di tempatku. Kami belum berani nekad untuk tinggal bersama, kecuali kalau sudah ada surat sakti itu. Dan gara-gara surat sakti itu, kami sekarang harus berurusan dengan orang yang suatu saat bisa saja menghancurkan harapan-harapan yang kami bangun selama ini. Aku jangan sampai lengah. Aku harus segera mengambil tindakan. Jangan sampai kalah langkah. Aku akan membawa Riana secepatnya agar kami bisa merawat dan mengasuhnya bersama. Agar hilang segala kekhawatiran dan kerisauan kami, terutama Lusiana.

Dan ternyata, tidak perlu waktu lama untuk Dia merebut kebahagiaan kami. Di Sabtu malam yang begitu dingin oleh angin musim yang mulai kemarau, aku pun mendapat kabar dari Lusiana di seberang telepon sana. Dengan menahan isak tangis yang masih tersisa, Ia pun masih menguatkan untuk berbicara walau terbata-bata.

“Aa, Riana … Riana Aa, dibawa sama bapaknya,” adunya sedikit tercekat.

“Dibawa bagaimana maksudnya, Neng?” balasku masih setengah tak percaya apa yang kudengar barusan.

“Iya, …. Riana dijemput paksa. Tadi pagi kejadiannya, A. Sekarang, Riana ada di rumah bapaknya,” tambahnya menjelaskan keadaan. Benar-benar bajingan Si Raihan itu!

“Ya sudah, Neng. Sekarang, Neng tenang dulu ya …. Kita cari jalan keluar yang terbaik,” kataku mencoba menenangkan keadaan Lusiana yang terdengar mulai panik.

“Besok, Neng tunggu di tempat biasa, ya. Neng mau pulang dulu ke rumah. Neng mau ambil lagi Riana dari bapaknya!” katanya dengan penuh semangat.

“Nanti dulu, Neng. Jangan terburu-buru mengambil tindakan. Biar Aa pikirkan dulu jalan yang terbaik,” sergahku mencoba menahan keinginannya.

“Tidak ada waktu lagi, Aa! Harus besok! Neng tidak mau Dia punya waktu yang leluasa untuk mempengaruhi Riana,” timpalnya mencoba meyakinkan.

“Ya sudah, Aa antar ya, Neng,” bujukku.

“Jangan, A. Biar Neng saja sendirian. Nanti, kalau ada apa-apa, pasti Neng menghubungi Aa,” ucapmu dengan penuh keyakinan.

Begitulah akhirnya, aku pun harus merelakannya pergi. Di Minggu pagi yang masih buta kami bertemu di tempat biasa. Kini bukan lagi merencanakan ke mana kami pergi menghabiskan waktu seharian bersama-sama, tetapi lebih pada usahaku untuk mencoba menyembunyikan semua kekhawatiran tentang hubungan kami ke depannya. Berkali-kali Lusiana meyakinkan bahwa semuanya akan baik-baik saja, tetapi bagiku tidak. Tidak akan baik-baik saja. Sudah terbayang bagaimana ketika mereka bertemu nanti. Atas nama Riana, mudah saja bekas suaminya itu mencoba membujuknya dengan segala akal perdaya dan tipu muslihat agar bisa rujuk kembali. Dan aku pun tahu, Lusiana akan begitu rapuh dan tak berdaya manakala Ia harus berpisah dengan anaknya. Sebenar-benarnya, ketika Lusiana masih sempat berkata padaku agar aku menunggunya di pojok jalan itu di hari Minggu yang akan datang, aku pun mulai menyangsikannya. Kesangsian yang sama kurasakan ketika terpikir olehku untuk melakukan hal yang serupa kepada Asti, bekas istriku. Akankah Dia serapuh Lusiana? Teka-teki yang tak kunjung menepati janji!


Jakarta, 28 Oktober 2016

0 Response to "Cerpen: Antara Kau dan Anak-Anak Kita"

Posting Komentar

Jika postingan di atas bermanfaat dan Anda tertarik untuk berbagi perasaan dan pikiran bersama kami, silakan tulis komentar. Terima kasih ;-)